Selasa, 18 September 2012


BUKAN ANAK PEMBAWA SIAL
Novera prasetiani Aiman Maulana
               

Seribu sembilan hari aku menikmati manis bersama sepasang insan manusia, pagi hari perempuan yang melahirkanku menyajikan secangkir kopi untuk lelaki berdasi dan semangkuk bubur kacang hijau untukku tak lama ibunda berlari ke dapur ku yakin dari suaranya ia mual, begitulah sampai 2 minggu lamanya.
                Dari jendela berkusen dia dibasahi rintik hujan di senja hari di selimuti rasa binbang, akankah kasih sayang ku terbagi dua dengan si jabang bayi, baru tadi pagi ibunda dan ayahanda mengetahui bahawa ibunda mengandung bayi, namun kasih sayang yang mereka berikan terlalu berlebihan ku rasa, bahkan saat ini mereka sedang membeli perlengkapan bayi dan aku di tinggalkan sendiri
                Tuhan pantaskah bila aku mengatakan calon adikku sebahai titipan dari MU sebagai pembawa sial bagi ku.
                9 bulan yang membosankan kasih sayang itu luluh dari ku dan berpindah kepada jabang bayi yang ada didalam perut ibunda, hingga kebencian ku semakin menjadi-jadi ketika bayi itu lahir, aku benci mendengar suaranya, aku benci melihat tubuh mungilnya yang di apit oleh ayah dan ibu, terbesit di pikiranku untuk membuang tubuh mungil itu tapi aku seorang manusia yang masih mempunyai hati nurani.
                Beberapa minggu kemudian entah mengapa ayah dan ibu memutuskan untuk berpisah, aku pun menyalahkan adikku kembali.
                Entah dimana tulang punggung kami itu berada, apakah dia sudah menikah lagi ? entahlah, siapa tau di benakku hanya terpikirkan hal itu saja.
                aku pun tumbuh besar dan membantu perekonomian keluargaku, sungguh dalam hatiku hanya memiliki 1 anggota keluarga saja yaitu ibuku, masih saja aku merasa adikku lah uang menyebabkan semua ini laki-laki berhelm dengan motor bututnya yang di pinggir-pinggirnya terdapat kantung kain usang bahwa ayah ku ada di suatu tempat.
                Aku ragu akan hal ini, apakah ayahku berada ditempat itu? Aku menghiraukan hal itu, ku pikir itu hanyalah kabar burung belaka, tetapi selama berminggu-minggu surat itu pun datang terus-menerus.
                Aku dan adikku pun memastikan hal itu, berangkat ketempat ang di pastikan adanya ayahku, di sanalah dia terbaring lemah dengan selang-selang oksigen yang terpasang di tubuhnya, disitulah aku bisa melihat lagi ayahku, dengan tergesa-gesa aku pun memeluk ayahku yang sedang berbaring lemah, namun ayahku hanya terdiam di depan pintu dengan muka penasaran “apakah dia adalah ayahku?’’ dan ayah menyuruhnya masuk.
                Aku pun merawatnya setiap hari tanpa sepengetahuan ibuku, mungkin jika ibu tidak mengetahui hal ini, itu akan lebih baik kurasa.
                Pada satu pagi yang cerah aku datang kembali kerumah sakit itu, menyapa setiap suster dan pasien disana, di saat aku memasuki kamar ayahku, dia tidak ada di   tempat tidurnya, aku bertanya kepada suster yang merawat ayahku, dia bilang ayahku sudah pergi dari tadi malam.
                Aku dan adikku pun mencarinya selama berhari-hari tetapi dia tidak meninggalkan jejak sama sekali, apa yang dia inginkan sebenarnya? Mengirimkan surat kepadaku sampai berkali-kali lalu meninggalkanku lagi, apakah dia benar-benar ayahku?
                Saat itu aku pun sadar selama ini yang setia menemaniku adalah adikku sendiri yang selalu aku anggap remeh dan selalu aku salahkan meski pun bukan dia tidak salah apa - apa  dan dia bukan anak pembawa sial.

14 - 2 - 2012

0 komentar:

Posting Komentar