BUKAN ANAK PEMBAWA SIAL
Novera
prasetiani Aiman Maulana
Seribu sembilan hari aku menikmati manis bersama sepasang
insan manusia, pagi hari perempuan yang melahirkanku menyajikan secangkir kopi
untuk lelaki berdasi dan semangkuk bubur kacang hijau untukku tak lama ibunda
berlari ke dapur ku yakin dari suaranya ia mual, begitulah sampai 2 minggu
lamanya.
Dari jendela berkusen dia
dibasahi rintik hujan di senja hari di selimuti rasa binbang, akankah kasih
sayang ku terbagi dua dengan si jabang bayi, baru tadi pagi ibunda dan ayahanda
mengetahui bahawa ibunda mengandung bayi, namun kasih sayang yang mereka
berikan terlalu berlebihan ku rasa, bahkan saat ini mereka sedang membeli
perlengkapan bayi dan aku di tinggalkan sendiri
Tuhan pantaskah bila aku
mengatakan calon adikku sebahai titipan dari MU sebagai pembawa sial bagi ku.
9 bulan yang membosankan kasih
sayang itu luluh dari ku dan berpindah kepada jabang bayi yang ada didalam
perut ibunda, hingga kebencian ku semakin menjadi-jadi ketika bayi itu lahir,
aku benci mendengar suaranya, aku benci melihat tubuh mungilnya yang di apit
oleh ayah dan ibu, terbesit di pikiranku untuk membuang tubuh mungil itu tapi
aku seorang manusia yang masih mempunyai hati nurani.
Beberapa minggu kemudian entah
mengapa ayah dan ibu memutuskan untuk berpisah, aku pun menyalahkan adikku
kembali.
Entah dimana tulang punggung
kami itu berada, apakah dia sudah menikah lagi ? entahlah, siapa tau di benakku
hanya terpikirkan hal itu saja.
aku pun tumbuh besar dan
membantu perekonomian keluargaku, sungguh dalam hatiku hanya memiliki 1 anggota
keluarga saja yaitu ibuku, masih saja aku merasa adikku lah uang menyebabkan
semua ini laki-laki berhelm dengan motor bututnya yang di pinggir-pinggirnya
terdapat kantung kain usang bahwa ayah ku ada di suatu tempat.
Aku ragu akan hal ini, apakah
ayahku berada ditempat itu? Aku menghiraukan hal itu, ku pikir itu hanyalah
kabar burung belaka, tetapi selama berminggu-minggu surat itu pun datang
terus-menerus.
Aku dan adikku pun memastikan
hal itu, berangkat ketempat ang di pastikan adanya ayahku, di sanalah dia
terbaring lemah dengan selang-selang oksigen yang terpasang di tubuhnya,
disitulah aku bisa melihat lagi ayahku, dengan tergesa-gesa aku pun memeluk
ayahku yang sedang berbaring lemah, namun ayahku hanya terdiam di depan pintu
dengan muka penasaran “apakah dia adalah ayahku?’’ dan ayah menyuruhnya masuk.
Aku pun merawatnya setiap hari
tanpa sepengetahuan ibuku, mungkin jika ibu tidak mengetahui hal ini, itu akan
lebih baik kurasa.
Pada satu pagi yang cerah aku
datang kembali kerumah sakit itu, menyapa setiap suster dan pasien disana, di
saat aku memasuki kamar ayahku, dia tidak ada di tempat tidurnya, aku bertanya kepada suster
yang merawat ayahku, dia bilang ayahku sudah pergi dari tadi malam.
Aku dan adikku pun mencarinya
selama berhari-hari tetapi dia tidak meninggalkan jejak sama sekali, apa yang
dia inginkan sebenarnya? Mengirimkan surat kepadaku sampai berkali-kali lalu
meninggalkanku lagi, apakah dia benar-benar ayahku?
Saat itu aku pun sadar selama
ini yang setia menemaniku adalah adikku sendiri yang selalu aku anggap remeh
dan selalu aku salahkan meski pun bukan dia tidak salah apa - apa dan dia bukan anak pembawa sial.
14 - 2 - 2012
0 komentar:
Posting Komentar